Desa Kemiren, Glagah, Bayuwangi, sekitar 90% penduduk, merupakan masyarakat adat Suku Osing. Mereka tetap mempertahankan tradisi leluhur. Salah satu, kuliner khas sajian para tamu. Bahkan, saban tahun ada gelaran Festival Tumpeng Sewu atau Festival Seribu Tumpeng. Warga juga kerap menggelar kenduri sebagai ungkapan syukur. Dalam ritual adat Osing, ada sajian tumpeng serakat. Selama 10 tahun terakhir, bahan baku tumpeng serakat tak lengkap karena sudah langka, dan ganti jenis berbeda, seperti terung, biasa pakai terung putih jadi terung hijau. Kacang koro mulo atau koro putih juga ganti warna hijau. Beragam pangan tersaji, seperti tumpeng dengan pecel ‎pitek atau pecel ayam. Olahan ayam kampung panggang dengan bumbu parutan kelapa dan sambal. Ada juga sego golong, yakni, nasi berbungkus daun pisang. Lauk pauk, telur rebus campur bumbu pecel seperti pecel pitek. Ritual ini penting, sebagai bagian menjaga ketahanan pangan lokal, penganan yang tumbuh di lingkungan setempat. Masyarakat adat Osing di Kemiren, selain menjaga ritual juga melestarikan rumah adat. Lebih dari separuh penduduk mempertahankan rumah berarsitektur khas Osing, ada yang berusia ratusan tahun, diwariskan turun temurun hingga lima generasi. Semua bangunan asli, hanya dinding berbahan anyaman bambu tiga kali renovasi. Anyaman bambu pakai jenis pipil lantaran tebal dan kuat. Bunyi gamelan mengalun merdu, membahana dari balik Rumah Budaya Osing, Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Rumah Budaya Osing ini sebagai ruang pertemuan masyarakat adat Osing. Angklung pagelak khas suku Osing, turut mengiringi. Para pemuda adat Osing cekatan, menata aneka makanan tradisional Using atau Osing di dalam piring dengan tutup daun pisang. Aneka sayuran dengan beragam lauk pauk lengkap tersaji. Kuliner khas kenduri sebagai ucap syukur kepada Tuhan. Tak ketinggalan, ada kendi berisi air minum. Para tetamu memegang daun pisang untuk wadah pengganti piring. Bergantian mereka mengambil nasi lengkap dengan sayur dan lauk pauk. “Ada tumpeng khusus untuk ritual kesuburan,” kata Wiwin Indiarti, dosen Sastra Inggris Universitas PGRI Banyuwangi sekaligus pelestari tradisi Osing. Sekitar 90% penduduk Kemiren, merupakan masyarakat adat Suku Osing. Mereka tetap mempertahankan tradisi leluhur. Salah satu, kuliner khas sajian para tamu. Bahkan, saban tahun ada gelaran Festival Tumpeng Sewu atau Festival Seribu Tumpeng. Warga juga kerap menggelar kenduri sebagai ungkapan syukur. Dalam ritual adat Osing, ada sajian tumpeng serakat. Selama 10 tahun terakhir, bahan baku tumpeng serakat tak lengkap, ganti jenis berbeda, seperti terung, biasa pakai terung putih jadi terung hijau. Terung, katanya, tak boleh berwarna ungu. Kacang koro mulo atau koro putih juga ganti yang warna hijau. Selain itu, labu siam putih juga nyaris sulit dicari alias langka berganti wargan hijau. Aneka tanaman sayur tersebut mulai langka, lantaran masyarakat mulai meninggalkan tanam sayuran itu. Mereka mengganti dengan sayur dari luar daerah dengan rasa dinilai lebih enak dan renyah. Wiwin mengatakan, tugas pemerintah membudidayakan bahan makanan atau bibit lokal untuk ritual. Labu putih, banyak di Sunda. “Masyarakat Sunda memiliki alasan membudidayakan, kenapa di Banyuwangi punah?” Tumpeng, salah satu sajian dalam ritual Suku Osing. Foto Eko Widianto/ Mongabay Indonesia Ritual ketahanan pangan dan kesuburan Selain itu juga ada bahan makanan yang tak umum mereka pakai sebagai bahan baku makanan, yakni, daun belimbing yang berbunga tetapi gagal berbuah. Masakan ini diwariskan turun temurun secara lisan. Tak ada teks atau buku yang menuliskan resep ini hingga banyak yang tak mengetahui tata cara memasaknya. Selain itu, tumpeng juga tersaji pecel ‎pitek atau pecel ayam. Olahan ayam kampung panggang dengan bumbu parutan kelapa dan sambal. Ada juga sego golong, yakni nasi berbungkus daun pisang. Lauk pauk, telur rebus campur bumbu pecel seperti pecel pitek. Sego golong dipercaya agar pikiran pemilik hajat bisa plong atau lega. Ritual ini penting, katanya, sebagai bagian menjaga ketahanan pangan lokal, penganan yang tumbuh di lingkungan setempat. Bahan pangan tahan cuaca karena perubahan iklim, dan tahan predator lokal yang memiliki keunggulan tersendiri. Tumpeng, merupakan bagian dari ritus kesuburan. Meraayakan manusia dengan tanah. Tumpeng untuk ritual, katanya, tersaji khusus khusus. Sebelum dimakan bersama ada ritual dipimpin tokoh adat. Menurut Wiwin, ritual tumpeng merupakan usaha leluhur membangun interaksi manusia dengan leluhur dan sesama manusia. “Makan bareng, duduk bersama. Tinggi sama rendah,” katanya. Ia juga cara menjaga alam. Ritual masyarakat adat, katanya, lekat dengan tanah leluhur. Ia bagian dari kultur masyarakat agraris. “Bagaimana ritual kesuburan dilakukan jika tak ada lahan?” Terjadi alih fungsi lahan jadi permukiman, industri dan tambang. Alih fungsi lahan, katanya, tak dibenarkan dan harus dikendalikan. “Tak tersisa, alam penting untuk menjaga keseimbangan,” katanya. Kini, sebagian bahan pangan langka dan punah apalagi di pasar tersedia untuk memenuhi kebutuhan pangan. Masyarakat Osing tak lagi menanam di halaman rumah. Pola menanam tanaman di rumah, katanya, bagian dari menjaga ketahanan pangan. “Kita sudah berbeda dengan lehuhur,” katanya. Perabotan di rumah adat Osing. Foto EKo Widianto/ Mongabay Indonesia Rumah adat Osing Masyarakat adat Osing di Kemiren, selain menjaga ritual juga melestarikan rumah adat. Lebih dari separuh penduduk mempertahankan rumah berarsitektur khas Osing, ada yang berusia ratusan tahun, diwariskan turun temurun hingga lima generasi. Semua bangunan asli, hanya dinding berbahan anyaman bambu tiga kali renovasi. Anyaman bambu pakai jenis pipil lantaran tebal dan kuat. Bagian depan rumah pakai gebyok berbahan papan kayu. Bangunan utama seperti pilar atau saka guru dengan kayu benda atau bendo Artocarpus elasticus. Orang Osing menyukai kayu bendo karena stabil tak berubah meski terkena hujan dan panas. “Kayu jati bisa melar,” katanya. Adi Purwadi, pimpinan Rumah Budaya Osing mengatakan, kayu bendo relatif ringan dan keawetan setara kayu jati. Bendo juga ulet seperti kayu besi. Kayu bendo berat dan berwarna warna putih kekuningan. “Kayu bendo juga cocok untuk furnitur,” katanya. Struktur rumah Osing berbeda terlihat dari atap bangunan. Terdiri dari rumah tikel balung dengan atap empat, baresan beratap tiga dan crocogan dengan atap dua. Biasanya, kata Adi, pakai atap tipe tikel, sedangkan baresan jarang. Crocogan biasa untuk bangunan di dapur. Ada yang menyebut rumah beratap tikel balung melambangkan penghuni sudah mapan. Sedangkan baresan melambangkan pemilik cukup mapan secara materi dengan rumah bentuk tikel balung. Rumah crocogan mengartikan penghuni masih keluarga muda atau dengan ekonomi belum mapan. Setiap rumah memiliki tempat penyimpanan hasil panen dan lesung atau alat penumbuk padi. Ia sebagai bagian usaha ketahanan pangan masyarakat Osing. Bagian dalam ada ruang tamu, sentong. Ruang tamu terdiri atas meja kursi untuk menerima tamu. Ada sejumlah lemari jadi etalase atau pajangan aneka gelas. Ada kinangan atau tempat aneka piranti untuk sirih, dan aneka pecah belah. Bagian belakang merupakan dapur dengan tungku berbahan bakar kayu dan menyimpan bahan pangan. Tarian grandrung dari Suku Osing. Foto Eko Widianto/ Mongabay Indonesia Merawat tradisi leluhur Sejumlah pemuda duduk bersimpuh, mereka piawai memainkan instrumen musik tradisi seperti angklung pagelak khas suku Osing. Di sinilah, Lembaga Adat Masyarakat Osing Lemau beraktivitas, termasuk belajar mocoan atau tembang. Lemau berdiri sejak 2014. Kalau di Bali, macoan dikenal dengan membase atau Jawa menyebut mocopat, Madura mengenal istilah mamaca. Mereka tengah mocoan babad tawangalun. Dosen Wiwin mengatakan, mocoan sering gunakan lontar Yusup. Tembang lontar Yusup dari kisah yang tertulis dalam Surat Yusuf dalam Al-Quran. Dengan aksara Arab pegon ini, awalnya ditulis di atas daun lontar dengan bahasa Jawa kuno dan Jawa baru. Kondisi fisik daun lontar mulai lapuk hingga disalin di kertas. Lontar Yusup, katanya, serupa dengan lontar Yusuf di Bali, Madura, dan Lombok. Cirebon juga memiliki serat Yusup. Ada 20 variasi tembang hingga perlu direkam dalam satu tembang utuh agar tetap terjaga. Mocoan lontar Yusup biasa untuk ritual pernikahan. Sebagai wujud memanjat syukur dan berdoa agar pasangan langgeng seperti Nabi Yusuf dan Zulaikah. Juga ditembangkan dalam acara khitanan, agar anak tak merasa sakit saat khitan. Awalnya, ada warga Osing yang memiliki koleksi lengkap serat ambyah yang menceritakan kisah 25 nabi. Ada sejumlah pihak meminjam kini tinggal tersisa lima nabi, sebagian rusak hingga tak bisa dibaca. Masyarakat adat Osing, kadang menganggap itu sebagai pusaka. Mereka menyimpan dan tak membaca apalagi mengamalkan ajaran di peninggalan leluhur itu. Belum lagi, sebagian warga Osing tak bisa membaca apalagi mocoan. Makin lama makin langka, tak banyak pelestari mocoan. Beruntung lembaga masyarakat adat Osing menyalin dan melestarikan tradisi mocoan. Ada pula naskah serupa yang disimpan di sebuah pesantren. Seorang kiai pengasuh pesantren turut menyalin dan menulis lontar Yusup agar tetap terjaga. Wiwin menjelaskan, masyarakat Osing menganggap lontar Yusuf merupakan warisan leluhur yang harus dijaga dan dilestarikan. Tiap tahun, ada ritual membaca tembang semalam suntuk. Kini, ia juga tengah tekun menyalin dan proses digitalisasi lontar secara bertahap. Ada pula lontar Ahmad, yang bercerita kisah nabi Muhammad. Ada banyak naskah kuno yang dipegang masyarakat. Pemilik sebagian besar petani yang diwarisi dari orangtua mereka. Mereka menjaga lontar sebagai pusaka. Sayangnya, mereka tak bisa baca dan mengamalkan. Sejak Desember 2017, Lemau menggelar pelatihan mocoan bersama generasi muda. Ketua Lontar Sub Milenial, Noval Moco mengatakan, kini banyak anak muda tertarik ikut mocoan. Sejumlah guru sekolah dasar juga belajar untuk materi pelajaran muatan lokal agar tradisi Osing tetap lestari. “Banyak anak muda yang tertarik belajar mocoan,” kata Noval. Dulu, mocoan hanya oleh laki-laki. Kini, perempuan juga belajar dan mulai menembang mocoan. Rumah adat Osing. Foto EKo Widianto/ Mongabay Indonesia Artikel yang diterbitkan oleh bencana ekologis, featured, hutan indonesia, hutan lindung, Hutan Rakyat, jawa, jawa timur, kerusakan lingkungan, ketahanan pangan, Masyarakat Adat, pertanian, Perubahan Iklim
Persediaanyang harus ada adalah tumpeng, procot, bubur merah putih atau disebut bubur sengkolo, sego (nasi) golong, rujak sepet ( dari sepet sabut kelapa muda ), cengkir gading dll. Semua uborampe tersebut juga merupakan doa bil isyaroh, doa dengan perlambang. Perlambang-perlambang itu antara lain sebagai berikut : Tumpeng. sego golong pelengkap dari tumpengHarga di SurabayaAqiqah Mudah, Amanah, Sesuai Syariahsego golong pelengkap dari tumpeng, Info lebih lanjut hubungi sego golong pelengkap dari tumpeng sego golong pelengkap dari tumpeng, dari kami menyediakan berbagai macam nasi kotak dan aqiqah untuk hajatan And, Melayani wilayah Surabaya, Sidoarjo dan Gresik. Jadi sekarang Anda tidak perlu repot jika ingin gelar acara baik tasyakuran pernikahan, Khitan atau kirim doa bagi yang sudah meningal dunia. Dapar kami bisa melayani hingga 1000 kotak per hari. Silahakn buka halaman depan untuk pilihan menu dan harga. Kunjungi kami di Secara bahasa, aqiqah memiliki arti “memotong” yang berasal dari bahasa arab “al-qath’u”. Terdapat juga definisi lain aqiqah yaitu “nama rambut bayi yang baru dilahirkan”. Menurut istilah, aqiqah adalah proses kegiatan menyembelih hewan ternak pada hari ketujuh setelah bayi dilahirkan. Hal ini dilakukan sebagai wujud rasa syukur kepada Allah SWT. Aqiqah biasanya dilakukan pada hari ke-7, ke-14, atau ke-21 setelah kelahiran seorang anak. Bagi anak laki-laki, untuk melaksanakan aqiqah wajib memotong dua ekor kambing sementara anak perempuan satu ekor kambing saja. Harga di Surabaya Di masa kini, kebutuhan akan pelaksanaan aqiqah yang praktis meningkat terutama di kota-kota besar seperti surabaya. Jasa Catering Aqiqah Surabaya menjadi andalan untuk melaksanakan aqiqah secara simpel dan tidak repot. Sebelum jasa aqiqah menjadi tren, banyak yang sibuk mencari kambing aqiqah memenuhi syariat aqiqah. Selain itu masih harus mengurus penyembelihan yang mana bisa dilakukan sendiri atau menggunakan tukang sembelih kambing. Jagalnya pun dengan catatan tahu seperti apa pemotongan yang sesuai dengan syariat agama Islam, belum lagi proses memasak daging kambing atau domba yang harus ditangani oleh yang ahli memasak agar tidak berbau prengus yang membuat tidak nafsu untuk dimakan. Kami Namira Aqiqah merupakan tempat sego golong pelengkap dari tumpeng di wilayah Surabaya, Sidoarjo, Gresik, Bangkalan, Menerima Pesanan Masakan Aqiqah, Walimah aqiqah, Qurban, Tasyakuran, ataupun hajatan lainnya. Untuk Wilayah kota Surabaya, Sidoarjo, Gresik, Bangkalan, dan Sekitarnya, Silahkan pesan pada Kami. Aqiqah Mudah, Amanah, Sesuai Syariah Tempat Aqiqah Tanpa Ribet, Tanpa Harus Mengganggu Kesibukan Anda, Tanpa Merepotkan Anda Sekeluarga. Untuk Pemesanan dan Konsultasi, Silahkan menghubungi Customer Service kami di nomor dibawah ini. Sampaikan tentang kebutuhan Hajatan Anda kepada Kami via Telepon atau kami akan berikan layanan terbaik untuk aqiqah Anda sekeluarga. sego golong pelengkap dari tumpeng, Info lebih lanjut hubungi Rumah sego golong pelengkap dari tumpeng Jalan Kalilom Lor Indah gang Kenongo nomor 82, Surabaya. Dapur 1 Perum Gunung Anyar Emas Blok J2/170C, Gunung Anyar Tambak Surabaya. Dapur 2 Jalan Kenjeran nomor 245 Masuk Towowo Rejo gang I rumah nomor 6 Surabaya. WA 082244449942 facebook bunda tiara nasi kuning IG rajatumpengdotcom MengenalAksara Jawa. Berdirinya kerajaan Mataram Islam memberi warna baru dalam sejarah penanggalan di Jawa. Tepatnya ketika pemerintahan Sri Sultan Agung Prabu Anyakrakusuma, ditetapkanlah pemberlakuan Tahun Jawa. Adapun sistem penanggalan Tahun Jawa adalah mengikuti penanggalan Hijriah, yaitu berdasarkan perputaran bulan, atau disebut Komariah. Tumpeng merupakan hidangan khas Indonesia yang biasanya disajikan untuk merayakan hari spesial. Cara penyajiannya dengan meletakkan nasi berbentuk kerucut di bagian tengah, kemudian dikelilingi lauk-pauk dan sayuran. Ternyata, tumpeng merupakan singkatan dari yen metu kudu sing mempeng. Artinya, jika keluar harus dengan sungguh-sungguh. Dilengkapi tujuh atau pitu macam lauk-pauk yang dimaksudkan sebagai pitulungan berarti meminta pertolongan. Uniknya, tumpeng pun menyimpan kisah sejarah beserta makna mendalam yang inspiratif, lho. Simak ulasan selengkapnya di bawah ini!1. Kisah sejarah di balik kelezatan Dilansir dari buku berjudul Bali Bukan India, tumpeng merupakan gambaran kondisi geografis Indonesia yang dipenuhi gunung berapi. Hidangan ini sudah ada sejak dahulu kala untuk memuliakan gunung sebagai tempat bersemayam para Hyang atau arwah proses penyebaran agama Hindu di Pulau Jawa terjadi, bentuk mengerucut tumpeng dibuat untuk meniru Gunung Mahameru yang dianggap suci. Konon, gunung ini menjadi tempat tinggalnya para Dewa-Dewi. Akhirnya, masuknya agama Islam ke Pulau Jawa membuat arti tumpeng bergeser. Semula untuk memuliakan gunung, lalu berubah menjadi wujud syukur terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Biasanya, disajikan selepas pengajian Al-Qur'an yang disantap bersama-sama. 2. Makna filosofis pada tumpeng yang Secara garis besar, tumpeng merupakan wujud dari nilai toleransi, keikhlasan, kebesaran jiwa, dan kekaguman atas kebesaran Tuhan Yang Maha Esa, seperti dilansir dari buku Aneka Kreasi Tumpeng. Bentuk tumpeng yang mengerucut, kemudian dikelilingi lauk-pauk dan sayuran merupakan simbol ekosistem kehidupan. Kerucut nasi yang menjulang tinggi berarti lambang dari keagungan Tuhan Sang Maha Pencipta. Aneka lauk pauk dan sayuran di sekeliling nasi menjadi simbol isi alam. Baca Juga Resep dan Cara Membuat Nasi Tumpeng Enak, Bikin Acara Makin Meriah Gak cuma itu, ada tumpeng berwarna kuning dan putih dengan makna berbeda. Warna putih pada nasi tumpeng melambangkan kesucian, sedangkan kuning lebih pada kekayaan dan moral yang lauknya pun punya makna tersendiri, seperti ikan asin menandakan gotong royong. Telur rebus berarti kebulatan tekad. Gak boleh terlewat, daging ayam menjadi simbol patuh terhadap Sang Pencipta. Sementara itu, sayurannya seperti kluwih menjadi simbol keinginan mendapat rezeki berlimpah-ruah. Untuk sayur urap yang terdiri dari bayam, kangkung, dan taoge memiliki makna simbol kedamaian, keyakinan, serta kesuburan. 3. Gak boleh sembarangan dipotong, begini caranya! Langkah pertamanya, ujung tumpeng kerucut dipotong oleh orang yang dihormati di masyarakat. Setelah itu, barulah orang yang punya hajat atau pun acara membelah tumpeng hingga tiga per empat ke bawah. Ternyata, cara pemotongan ini memiliki arti simbolis seperti dilansir dari Aneka Kreasi Tumpeng. Maknanya, seolah rezeki bisa dibagi sama rata dengan sesama warga. Baca Juga 7 Cara Memasak Tumpeng yang Enak, Beserta Tips Menghiasnya 4. Kapan tumpeng disajikan? Tumpeng biasanya disajikan sebagai syarat menyelenggarakan upacara adat suku Jawa, Madura, Sunda, dan Bali. Biasanya, upacara adatnya berkaitan dengan daur kehidupan seseorang, mulai dari kehamilan, kelahiran, perkawinan, hingga kematian, seperti dilansir dari buku berjudul Aneka Kreasi Tumpeng. Seiring berjalannya waktu, tumpeng pun gak hanya disajikan saat ada acara adat, tetapi juga berbagai jenis syukuran, seperti Hari Kemerdekaan RI, 17 Agustus. Biasanya, disajikan tumpeng berwarna merah-putih yang melambangkan warna bendera Indonesia. 5. Ragam jenis tumpeng di Ada pun jenis-jenis tumpeng di Indonesia, antara lain Tumpeng pungkur yang disajikan saat acara kematian. Tumpeng megana untuk acara lahiran. Tumpeng robyong dihidangkan buat cara besar, berupa musim panen, meminta hujan, hingga mengusir penyakit. Tumpeng kendit yang melambangkan telah bebas dari kesulitan. Tumpeng tumbuk digunakan untuk acara ulang tahun. Nah, itulah kisah sejarah dan makna filosofi tumpeng yang wajib kita pahami. Jadi, lauk apa yang paling kamu incar di dalam tumpeng, nih?Download aplikasi masak Yummy App untuk mendapatkan beragam referensi bahan makanan dan masakan sesuai dengan selera kamu, lengkap dengan cara memasaknya hanya di Google Play Store dan App Store. Baca Juga 10 Bagian Tumpeng yang Sarat Makna dan Punya Filosofi MendalamPujisyukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan anugerahNya, sehingga Tugas Akhir yang berjudul PERANCANGAN BUKU ESAI FOTO RITUAL SESAJI "TANEM